Going to Cinema - SUPERNOVA
Sebelumnya, aku sudah pernah membuat post tentang buku SUPERNOVA. Secara singkat, bukunya sangat menarik, walaupun agak 'berat' untuk orang yang jarang baca buku. Di post itu aku juga membahas tentang (trailer) film SUPERNOVA, yang baru rilis di bioskop beberapa hari yang lalu. Awalnya aku agak bingung mau nonton apa tidak. Aku mikir "kan sudah baca bukunya", "nanti kalau pergi ke bioskop ngabisin duit" dsb. Syukurlah, akhirnya aku memutuskan untuk nonton. Aku jadi punya bahan untuk ngisi blog ini :D.
Aku pergi nonton pada hari Kamis, 11 Desember, bersama 4 orang temanku (Airlangga, Anung, Ferdi, Roqi). Karena ujian semester sudah selesai, kami bebas pulang jam berapa pun, asal sudah absen. Kami berangkat pukul 10 pagi dengan membonceng mobil milik ayahnya Airlangga ke Ambarukmo Plaza (Yogyakarta), lokasi bioskop terdekat dari tempat kami (di Klaten tidak tidak ada bioskop). Aku hanya membawa uang Rp100.000 di dompet, entah apa yang akan terjadi nantinya.
Kalian tahu, ini adalah pertama kalinya aku pergi ke bioskop (tragis, memang). Aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku ikuti saja yang dilakukan teman-temanku. Saat masuk ruangan, kulihat penontonnya sedikit sekali. Entah karena kami berangkat terlalu pagi, atau filmnya kurang diminati, atau karena alasan lainnya, aku tidak tahu. Beberapa menit kemudian semua lampu dimatikan. Layar besar di ruangan itu mulai memutar film, speaker-speaker yang ada di dinding ruangan mulai mengeluarkan suara yang menggelegar. Jadi, seperti ini ya, enaknya nonton bioskop :P.
Setelah film selesai, kami pun meninggalkan ruangan dengan tertib. Sambil berjalan, teman-temanku mulai memberikan komentarnya masing-masing. Ferdi, yang menonton hanya karena ingin melihat Raline Syah, berkomentar "Aku gak bisa ngikutin ceritanya sama sekali". Roqi agak kecewa, "Ku pikir ini lebih seru. Di trailernya katanya 'menggabungkan semua cabang sains...', tapi kok ternyata begini. Huft...". Anung tidak berkomentar. Sedangkan Airlangga, yang nampaknya lebih paham dari yang lainnya, terus memberikan komentar sinis, "Kampret bener si Rana itu", "Jadi si Diva mikir kalo dia itu Tuhan?"...
Menarik sekali mendengar komentar orang lain tentang sebuah film. Kalau menurutku, filmnya agak membosankan. Bisa jadi karena aku sudah tahu seluruh ceritanya, jadi aku tidak merasakan suspense-nya. Tapi, dari segi lainnya, patut diacungi jempol. Mereka tidak takut menampilkan figur dua orang gay, narkoba, pelacur dsb. VFX-nya cukup menarik, meskipun tidak se-WOW film Hollywood. Untuk aktor, musik, dsb. lumayan lah.
Satu hal yang menurutku kurang baik adalah film ini terlalu berusaha untuk 'menyamai' bukunya. Bagiku, kelebihan terbesar suatu film dibandingkan buku adalah kemampuannya untuk memunculkan adegan yang dapat 'bercerita lebih banyak dari seribu kata'. Aku tidak mendapatkan itu. Dan sebaiknya, kalau bisa Paula Verhoeven dimunculkan lebih... kau tahulah :D
Yang agak membingungkan di film ini adalah bagaimana Rana bisa begitu mencintai Ferre (dan sebaliknya)? Adegan pertemuan di kantor itu kurang kuat untuk menggambarkan momen jatuh cinta. Kalau aku tidak salah, letak kesalahannya adalah kisah cinta mereka diperlihatkan dengan sudut pandang orang ketiga, itulah yang membuat penonton tidak bisa hanyut ke dalamnya. Padahal sudut pandang orang pertama itu wajib bagiku, untuk hal-hal yang sangat berhubungan dengan emosi seperti itu. Dalam film The Fault in Our Stars (film adaptasi novel juga), kasusnya hampir sama. Aku tidak bisa merasakan cinta di antara mereka, padahal ITU INTINYA! Tapi, bukan berarti semua film adaptasi novel gagal dalam hal ini. Film Harry Potter sukses membuatku tergila-gila dengan Hermione :D. Tapi mungkin ini ada hubungannya juga dengan selera masing-masing orang. Huft... malah jadi ngelantur.
By the way, biaya perjalananku kali ini tidak sampai Rp100.000. Yah... walaupun isi dompetku hampir habis, nonton filmnya kurang puas, dan sempat kehujanan waktu akan naik bis, tapi aku tidak menyesal. Bahkan, aku siap untuk nonton lagi!
Aku pergi nonton pada hari Kamis, 11 Desember, bersama 4 orang temanku (Airlangga, Anung, Ferdi, Roqi). Karena ujian semester sudah selesai, kami bebas pulang jam berapa pun, asal sudah absen. Kami berangkat pukul 10 pagi dengan membonceng mobil milik ayahnya Airlangga ke Ambarukmo Plaza (Yogyakarta), lokasi bioskop terdekat dari tempat kami (di Klaten tidak tidak ada bioskop). Aku hanya membawa uang Rp100.000 di dompet, entah apa yang akan terjadi nantinya.
Sorry, lupa foto pas di sana. Jadinya cuma nyari di google. Image from www.panoramio.com |
Kalian tahu, ini adalah pertama kalinya aku pergi ke bioskop (tragis, memang). Aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku ikuti saja yang dilakukan teman-temanku. Saat masuk ruangan, kulihat penontonnya sedikit sekali. Entah karena kami berangkat terlalu pagi, atau filmnya kurang diminati, atau karena alasan lainnya, aku tidak tahu. Beberapa menit kemudian semua lampu dimatikan. Layar besar di ruangan itu mulai memutar film, speaker-speaker yang ada di dinding ruangan mulai mengeluarkan suara yang menggelegar. Jadi, seperti ini ya, enaknya nonton bioskop :P.
***
Setelah film selesai, kami pun meninggalkan ruangan dengan tertib. Sambil berjalan, teman-temanku mulai memberikan komentarnya masing-masing. Ferdi, yang menonton hanya karena ingin melihat Raline Syah, berkomentar "Aku gak bisa ngikutin ceritanya sama sekali". Roqi agak kecewa, "Ku pikir ini lebih seru. Di trailernya katanya 'menggabungkan semua cabang sains...', tapi kok ternyata begini. Huft...". Anung tidak berkomentar. Sedangkan Airlangga, yang nampaknya lebih paham dari yang lainnya, terus memberikan komentar sinis, "Kampret bener si Rana itu", "Jadi si Diva mikir kalo dia itu Tuhan?"...
Menarik sekali mendengar komentar orang lain tentang sebuah film. Kalau menurutku, filmnya agak membosankan. Bisa jadi karena aku sudah tahu seluruh ceritanya, jadi aku tidak merasakan suspense-nya. Tapi, dari segi lainnya, patut diacungi jempol. Mereka tidak takut menampilkan figur dua orang gay, narkoba, pelacur dsb. VFX-nya cukup menarik, meskipun tidak se-WOW film Hollywood. Untuk aktor, musik, dsb. lumayan lah.
Satu hal yang menurutku kurang baik adalah film ini terlalu berusaha untuk 'menyamai' bukunya. Bagiku, kelebihan terbesar suatu film dibandingkan buku adalah kemampuannya untuk memunculkan adegan yang dapat 'bercerita lebih banyak dari seribu kata'. Aku tidak mendapatkan itu. Dan sebaiknya, kalau bisa Paula Verhoeven dimunculkan lebih... kau tahulah :D
Yang agak membingungkan di film ini adalah bagaimana Rana bisa begitu mencintai Ferre (dan sebaliknya)? Adegan pertemuan di kantor itu kurang kuat untuk menggambarkan momen jatuh cinta. Kalau aku tidak salah, letak kesalahannya adalah kisah cinta mereka diperlihatkan dengan sudut pandang orang ketiga, itulah yang membuat penonton tidak bisa hanyut ke dalamnya. Padahal sudut pandang orang pertama itu wajib bagiku, untuk hal-hal yang sangat berhubungan dengan emosi seperti itu. Dalam film The Fault in Our Stars (film adaptasi novel juga), kasusnya hampir sama. Aku tidak bisa merasakan cinta di antara mereka, padahal ITU INTINYA! Tapi, bukan berarti semua film adaptasi novel gagal dalam hal ini. Film Harry Potter sukses membuatku tergila-gila dengan Hermione :D. Tapi mungkin ini ada hubungannya juga dengan selera masing-masing orang. Huft... malah jadi ngelantur.
***
By the way, biaya perjalananku kali ini tidak sampai Rp100.000. Yah... walaupun isi dompetku hampir habis, nonton filmnya kurang puas, dan sempat kehujanan waktu akan naik bis, tapi aku tidak menyesal. Bahkan, aku siap untuk nonton lagi!
Comments
Post a Comment
What do you think?