Catatan Seorang Demonstran

"Yang bener! Lo punya buku Soe Hok Gie? Wah, kenapa gak bilang dari dulu? Pinjem dong!" Itulah kata-kata yang diucapkan temanku saat tahu bahwa aku punya buku tulisan Soe Hok Gie. Bahkan di sebuah blog, aku pernah membaca kalau buku ini benar-benar berharga. Aku jadi bertanya-tanya, sebegitu hebatnyakah buku ini?



Lagi-lagi, aku merasa beruntung karena buku ini sudah ada di rumahku. Tinggal baca saja. Tidak jauh beda dari buku-buku tua yang aku baca sebelumnya, buku ini juga sudah kusam dan menguning. Yang agak mengejutkan, buku kecil ini ternyata mempunyai hampir 500 halaman, dan font-nya sekecil semut! Tapi tak apa-apa, aku tetap akan membacanya. Siapa tahu buku ini benar-benar bagus.

***

1. Bagian I: Pendahuluan


Jadi, aku mulai membaca bagian kata pengantar ... hmm, cukup menarik. Lalu bagian pendahuluan, cukup keren, lalu ... APA? Pendahuluan lagi? Dan bagian pendahuluan yang kedua ini panjangnya 70 halaman XD.

Aku akan membahas bagian ini secara singkat saja. Bagian pendahuluan yang ditulis oleh Daniel Dhakidae ini kurang lebih adalah review dari seluruh isi buku ini dengan ditambah berbagai analisis. Ada beberapa hal menarik yang bisa kutemukan di sini.

Yang pertama adalah pembandingan antara Soe Hok Gie sebagai eksponen (orang yg terkemuka di suatu gerakan) aktivis sekuler, dengan Ahmad Wahib sebagai eksponen aktivis agamis. Aku juga pernah membuat tulisan singkat tentang Ahmad Wahib di blog ini.

Kemudian, bagian ini juga mempunyai kosakata yang aneh, seperti "esoterik", "galib", "ritul" dsb. Aku tidak bisa memahami bagian ini tanpa melihat kamus. Aku jadi merasa tua mengetahui kosakata seperti itu XD.

Selain itu, ada satu bagian dari pendahuluan ini yang sangat menggangguku. Yaitu saat diceritakan Soe Hok Gie bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang kelaparan hingga makan kulit mangga untuk mengganjal perut. Padahal, 2 kilometer dari situ, terletak istana kepresidenan. "Paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik". Untuk pertama kalinya, aku jadi benci dengan Soekarno. Selama ini yang diceritakan di buku sejarah hanyalah tentang keberanian dan kehebatannya sebagai pejuang kemerdekaan dan proklamator. Ternyata dia juga punya sisi yang busuk. Sisi yang suka main perempuan dan berfoya-foya.

2. Bagian II: Masa Kecil


Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Sedangkan tanggal catatan pertama yang terdapat dalam buku ini adalah 4 Maret 1957. Itu berarti dia belum genap berusia 15 tahun. Saat itu dia masih SMP. Ah, ini mengingatkanku pada saat pertama kali aku menulis catatan harian waktu SD dulu. Sungguh aneh membayangkan bagaimana satu buku catatan dicetak kembali menjadi ribuan buku, sedangkan buku catatan yang lain hanya berakhir di dalam lemari dan dimakan rayap.

Tidak banyak yang bisa kutuliskan di sini. Di samping gaya penulisannya yang begitu rapi, ceritanya tidak begitu luar biasa (setidaknya untukku). Namun, aku suka melihat dia berkali-kali menulis "cantik tapi bodoh" XD.

3. Bagian III: Di Ambang Remaja


Di bagian ini mulai tampak ke mana Soe Hok Gie akan melangkah. Keresahan-keresahannya sebagai salah satu generasi muda Indonesia mulai muncul satu per satu. Cerita yang aku tulis di bagian pendahuluan tadi sebenarnya juga berasal dari sini.

Selain kesal kepada pemerintah, dia juga pernah kesal sekali dengan guru Sejarah Kebudayaannya. Dia dan gurunya berdebat sengit mengenai Ken Arok, manusia purba Trinil, subjetivitas, ... dan berputar-putar terus sampai 30 menit. Bahkan sampai teman-temannya bilang kalau guru itu kalah debat XD.

Ada hal lain lagi yang menurutku sangat menarik. Kali ini tentang perempuan lagi. Jadi, Soe Hok Gie punya kawan. Kawannya ini punya kawan yang jatuh cinta dengan gadis idamannya. Lalu dia bilang: "Aku tak mungkin mengawininya, sebab kalau aku kawin aku tak tega menyetubuhinya. Paling banyak aku cium." Kemudian Soe Hok Gie berkomentar: "Dia tak mungkin mengadakan hubungan kelamin sebab baginya Übermensch-nya suci dan mau dikotori. Aku yakin inilah cinta sejati." Ini gila.

4. Bagian IV: Lahirnya Seorang Aktivis


Kelihatannya, bagian ini hanya sebuah persiapan dari bagian selanjutnya yang lebih "WOW". Soe Hok Gie baru saja menjadi mahasiswa baru dan catatannya seputar masalah itu, serta beberapa catatan tentang buku dan Soekarno. Soe Hok Gie adalah salah satu orang yang cukup beruntung bisa duduk dan berbicara dengan Presiden RI I ini. Pada pertemuan itu, mereka tidak hanya berbicara soal politik, tapi juga membuat macam-macam lelucon jorok. Ada kata-kata Soe Hok Gie yang cukup menarik di sini: "Sebagai manusia saya kira saya senang pada Bung Karno, tetapi sebagai pemimpin tidak."

Selain itu, ada sebuah hal kecil yang membuatku terkesan (tidak ada hubungannya dengan yang di atas). Soe Hok Gie pernah membuat daftar teman-temannya dan menganalisis mengenai keadaan ekonomi mereka. Aku sudah tidak lama melakukan hal seperti itu, sepertinya menyenangkan.

5. Bagian V: Catatan Seorang Demonstran


Pada bagian inilah pestanya dimulai. Situasi mulai kacau, harga-harga melambung setinggi langit. Para mahasiswa pun merencanakan demonstrasi menuntut perbaikan. Bisa dibilang, bagian ini adalah yang paling seru dari keseluruhan isi buku ini.

Pada hari itu, ratusan mahasiswa melakukan long-march, mencorat-coret jalan dan mendatangi beberapa pejabat untuk melakukan demo. Di antara para mahasiswa, ada satu yang bernama Neneng Sabur, yaitu puteri Jenderal Sabur. Dia begitu getol menempel tulisan-tulisan di mobil dan suatu ketika matanya terbelalak ketika ia membaca apa yang ditempelnya ... GANTUNG SABUR.

Dan demonstrasi ini tidak hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Salah satu yang menjadi sasaran adalah sang menteri, Chaerul Saleh. Bahkan mereka berani membuat yel-yel "CHAERUL SALEH MENTERI GOBLOK" ... dan masih banyak lagi.

6. Bagian VI: Perjalanan ke Amerika


Buat kalian yang belum tahu, Soe Hok Gie pernah pergi ke Amerika dalam sebuah acara pertukaran pelajar. Pada pertemuan awal dia bertemu dengan mahasiswa dari Australia, New Zealand, Korea, Malaysia, Hong Kong, Vietnam, dan sebagainya dengan karakter dan budaya yang berbeda-beda.

Aku jadi semakin yakin, dengan pendapatku sejak dulu, bahwa di luar sana juga ada banyak orang bodoh dan fanatik. Ada kelompok-kelompok rasial seperti Black Student Union, yang ingin agar orang-orang hitam dihargai, tapi saat ditanya soal integrasi, mereka tidak mau peduli. Dan secara umum, Soe Hok Gie berpendapat bahwa generasi muda Amerika adalah the frustated young generation.

Lalu, Soe Hok Gie juga pernah pergi ke ladang bersama teman-temannya dan memetik jagung seenaknya. Ada banyak ladang yang tidak terurus dan dibiarkan membusuk karena harga jagung, apel, dll. sangat rendah sehingga pemerintah lebih memilih membayar para petani dibandingkan menyediakan gudang dan transportasi. Padahal, masih banyak orang yang kelaparan di belahan bumi yang lain.

7. Bagian VII: Politik, Pesta dan Cinta dan Bagian VIII: Mencari Makna


Jujur saja, pada dua bagian terakhir ini aku sudah malas-malasan membaca. Ceritanya hanya sekitar kehidupan sehari-hari Gie dan banyak muncul nama-nama baru yang tidak kukenal. Selain itu, Gie mulai rajin menulis hampir tiap hari (sehingga jumlah halaman dari dua bab ini adalah separuh dari keseluruhan buku). Hal ini benar-benar menambah tingkat kebosanan. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk membaca kedua bagian ini.

Jadi, seperti biasa, aku akan menulis beberapa hal menarik yang masih aku ingat. Salah satunya, Gie, sebagai seorang jurnalis, ternyata juga mengenal Mochtar Lubis. Sebelumnya, aku sudah pernah membuat review buku Mochtar Lubis, Harimau! Harimau!. Menurutku bukunya bagus. Tapi menurut Gie, sikap (politiknya) sangat buruk dan tidak intelektual.

Masalah lain yang cukup menarik adalah kisah cinta Gie. Cukup menyedihkan, kisah cinta Gie tidak ada yang berhasil. Salah satunya adalah Maria. Bisa dibilang, Maria adalah pacar Soe Hok Gie. Sebenarnya mereka berdua suka sama suka. Ada beberapa perbedaan di antara mereka, tetapi itu tidak menjadi masalah besar. Sayangnya, orang tua Maria tidak merestui hubungan mereka berdua. Aku tidak ingat detailnya, tapi intinya bahwa orang tua Maria mendukung Gie sebagai pahlawan yang memperjuangkan keadilan, tapi mereka tidak setuju kalau Gie menjadi suami anak mereka. Di sisi lain, Gie mulai menaruh rasa pada sahabatnya yang bernama Rina, dan juga Sunarti. It's complicated.

Tentang Soe Hok Gie di UI, setelah lulus dia mengajar di sana. Namun, dia tidak hanya mengajar, dia masih aktif dalam berbagai gerakan. Dia bahkan pernah menulis artikel tentang kebobrokan UI. Oleh karena itu, banyak yang tidak suka padanya, bahkan para pimpinan UI ingin "membungkam"-nya.

Mendekati akhir dari buku ini, Soe Hok Gie mulai sering bicara tentang kekosongan dan keabsurdan tentang hdup yang tidak jelas apa tujuannya. Dan pada catatan terakhir yang ada di buku ini, kita bisa tahu bahwa Soe Hok Gie sebenarnya telah sadar akan kematian yang mendekatinya. "Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru."



Aku tahu ada beberapa catatan yang sengaja tidak dipublikasikan karena alasan tertentu. Tapi ini sudah cukup meyakinkan

***

"Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana tokoh agama, buruh dan pemuda bangkit dan berkata : Stop Semua Kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun! Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik."
- Soe Hok Gie

***

Jadi begitulah. Sebenarnya aku sudah membaca buku ini sejak bulan Januari atau Februari. Tapi aku baru menyelesaikannya bulan ini. Bahkan setelah selesai pun aku sempat berpikir, "Buat apa aku menulis review ini?" Tapi aku singkirkan pikirkan itu, dan aku tetap menulis apa pun yang terjadi. Jadi, begitulah. Terima kasih banyak telah membaca.

Comments

Popular posts from this blog

Why Is Hatsune Miku So Popular?

The Story of a JKT48 Fan - Part 2: All About JKT48

Speaker Pertama Saya: Oontz Angle Solo