35 Tahun menjadi Tukang Potong Dodol

Saat ini aku sedang membaca buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (review menyusul). Aku iseng-iseng membaca bagian pendahuluannya (sebenarnya malas sih, panjangnya 70-an halaman). Ternyata ada banyak hal menarik di sana. Salah satunya adalah perbandingan antara Soe Hok Gie dengan Ahmad Wahib, seorang pemuda lain yang catatan hariannya juga menjadi buku. Aku tidak akan membahas panjang lebar tentangnya, tapi ada satu bagian yang aku suka sekali dan ingin kukutip:

"Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini? . . . Mengapa ada orang Indonesia yang sampai puluhan tahun menjadi pekerja kasar yang itu-itu juga. Pengetahuan mereka juga tidak meningkat. Apa bedanya mencukur 3 tahun dengan mencukur 20 tahun? Apa bedanya menggenjot becak setahun dengan sepuluh tahun? Ide untuk maju walaupun dengan pelan-pelan masih sangat kurang di Indonesia ini. Baru-baru ini saya melihat gambar orang tua di majalah. Dia telah 35 tahun menjadi tukang potong dodol pada sebuah perusahaan dodol. Potong-potong . . . potong terus, tiap detik, jam, hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun . . . sampai 35 tahun. Masya Allah!"
- Ahmad Wahib

Comments

Popular posts from this blog

Why Is Hatsune Miku So Popular?

The Story of a JKT48 Fan - Part 2: All About JKT48

Speaker Pertama Saya: Oontz Angle Solo