Meninggal di Kosan, Jadi Seharusnya Bagaimana?
Rasanya sudah lama saya tidak membuat artikel dalam kategori thought akhir-akhir ini. Bukan karena saya jarang berpikir, tapi karena sebenarnya cukup susah untuk menemukan sebuah pemikiran yang cukup menarik sekaligus pantas untuk dipublikasikan. Ini juga pertama kali saya membuat artikel berbahasa Indonesia lagi setelah sekitar satu tahun yang lalu. Saya tidak tahu banyak mengenai kondisi kos-kosan di luar negeri, jadi saya rasa akan lebih baik kalau artikel ini ditulis dan dibaca dalam bahasa Indonesia.
Sebelum membahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita baca kembali tulisan yang telah disebar di berbagai media sosial secara berantai ini:
Copas dari wall nya: bu Lelitasari Danukusumo
-------------
MENINGGAL DI KAMAR KOS
Mahasiswi ITB Sartika Tio Silalahi (21 tahun) ditemukan meninggal di kamar kosnya, di Jl. Plesiran, Taman Sari, Bandung, Selasa (11/7/2017). Ia diperkirakan sudah meninggal tiga hari, karena mayatnya sudah berbau.
Sartika ini berasal dari Tarutung, Tapanuli Utara. Ia alumni berprestasi dari SMAN 1 Tarutung, angkatan 2013, sehingga bisa diterima di ITB. Ia mengambil program studi Perencanaan Wilayah dan Kota.
Awal ketahuan Sartika meninggal, orangtuanya menghubungi pengurus rumah kos, karena sudah tiga hari anaknya tidak ada kabar berita. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Pengurus kos pun meminta teman-teman kosnya, melalui chat grup, agar memerika kamar Sartika.
Sartika ditemukan sudah tak bernyawa. Kamar dalam keadaan rapi. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Berdasarkan informasi dari keluarga Sartika diketahui mengidap maag kronis.
Jenazah boru Sartika ini sudah dibawa pulang dan dimakamkan di Tarutung. Tapi ada hal yang perlu diketahui dan direnungkan secara serius dari peristiwa ini, terutama oleh orangtua atau keluarga yang anak-anaknya hidup kos di kota.
Suasana dan gaya hidup di tempat kos saat ini sudah sangat berbeda gaya hidup kos yang kita kenal ditahun 1980 atau 1990-an. Dulu, hidup satu kos itu seperti keluarga. Saling memperhatikan, saling berbagi makan, merasa senasib, dan saling tolong. Satu orang sakit, bisa-bisa yang antar berobat 5 atau 6 orang.
Sekarang ini, gaya hidup di tempat kos, terutama di tempat-tempat kos bagus di kota-kota besar, orang hidup sendiri-sendiri. Masing-masing hidup di kamar, berteman dengan gadget dan internetnya. Merasa tidak enak mencampuri urusan, atau mengganggu teman kos lain.
Lihatlah peristiwa yang menimpa Sartika ini. Kalau orangtuanya tidak menelepon pengurus kos dari Tarutung, sang pengurus kos tidak tahu apa yang terjadi. Itu pun, pengurus kos tidak langsung datang. Ia menghubungi penghuni kos lain lewat chat LINE, agar mencek kamar Sartika. Gemblung sekali rasanya, teman-teman kosnya itu sama sekali tidak memperhatikan Sartika sudah tidak kelihatan 3 hari.
Mahasiswa, anak-anak muda yang hidup kos di kota, sebenarnya kehilangan sesuatu. Kehilangan suasana dan perhatian keluarga. Ada rasa sepi, tidak bisa berbicara, atau curhat kepada keluarga.
Karena itu, ketika berada di rantau, sebenarnya justru sangat butuh teman, sahabat, dan lingkungan yang bisa mengisi kekosongan itu. Logisnya, teman-teman koslah yang mengisi kekosongan itu. Jangan lupa, di kampus sendiri si anak juga mungkin memiliki persoalan-persoalan yang menguras pikiran.
Seorang teman dari daerah cerita ke saya, ketika mengunjungi putrinya yang kuliah di UI, merasa heran setelah tinggal di Depok putrinya kelihatan cepat tua dan lelah. Putrinya itu sempat kuliah setahun di Bandung, dan katanya kelihatan happy-happy saja. Di Depok, putrinya tinggal di sebuah rumah kos besar, berlantai 3, mirip sebuah hotel.
Saya menduga, putrinya kehilangan suasana sosial karena kehidupan kos yang individual seperti cerita di atas. Belakangan juga ketahuan, si putri agak stress karena mengalami persoalan dengan kuliah. Beberapa dosen seperti memusuhinya karena beda agama. Tidak pernah dapat nilai bagus, meski sudah berusaha setengah mati. Nah, kan.
Satu hal, suasana individual ini juga yang kemudian sering melahirkan kondisi lain yang tak kalah buruk. Karena butuh teman, umumnya anak muda mencari pacar. Hubungan dengan pacar bisa jadi kelewat batas, karena tetangga kos tidak peduli apa yang dilakukan teman-teman kos di kamarnya. Pengurus kos juga tidak peduli, asalkan bayaran lancar.
Itu yang saya bilang, perlu mendapat perhatian dari para orangtua. Perlu juga ikut mencari tempat kos buat putra-putrinya. Suasana rumah kosnya seperti apa. Pemilik rumah kos seperti apa. Kira-kira temannya bisa bergaul dengan siapa. Apakah ada teman satu daerah, satu marga, anak kenalaan, kira-kira dia bisa bergereja dimana, dan sebagainya.
Maaf, orangtua juga sering sama egois. Dia merasa punya uang, mencari tempat kos yang mahal, yang fasilitasnya lengkap, agar orang melihat anaknya itu anak orang mampu, tidak butuh orang lain. Jangan macam-macam sama anakku. Kurang lebih, begitu. Tanpa sadar, itu sebenarnya menjerumuskan si anak ke kesepian yang dalam, meski hidupnya tampak enak.
Bayangkan, si anak sakit, tapi sampai nggak berani memberitahu atau minta tolong temannya ngantar ke dokter seperti boru Sartika di atas. Miris...ironis.
Pertama, baru kali ini saya benar-benar merasakan tinggal di kos. Setelah satu tahun tinggal di asrama, akhirnya saya baru pindah ke kos, sekitar satu bulan yang lalu. Yang kedua, karena penyebaran berita ini begitu dahsyat, bahkan bisa sampai masuk ke grup chat keluarga saya.
Dan yang terakhir, karena saya sendiri juga merupakan seorang introvert. Saya merasa sedikit tersinggung dengan nada tulisan tersebut. Oleh karena itu, saya merasa perlu membuat artikel ini.
Dari sebagian besar tanggapan dari berita tersebut yang telah saya baca, nampaknya kebanyakan orang berpikir bahwa musibah ini bisa dicegah seandainya orang-orang yang tinggal di kos tidak terlalu individualis dan lebih peduli terhadap teman-temannya.
Sayangnya, tidak semudah itu mengajak orang agar peduli, apalagi mengubah sifat orang yang pada dasarnya memang introvert. Sebenarnya, saya sendiri pun belum bisa memberikan sebuah solusi yang ampuh untuk masalah ini. Namun, setidaknya saya dapat memberikan sebuah pembahasan (atau mungkin bisa juga disebut 'eksperimen pikiran') dari sudut pandang seorang introvert.
Sebelum kita melanjutkan, saya ingin memperingatkan terlebih dahulu bahwa saya hanya akan membahas kasus Sartika Tio Silalahi, untuk membatasi cakupan artikel ini. Saya juga akan membuat banyak asumsi di sini. Artikel ini saya buat dengan mengasumsikan bahwa semua informasi yang diberikan dalam tulisan tersebut benar, dan bahwa Sartika Tio Silalahi (selanjutnya dipanggil Sari, karena saya tidak tahu dia biasanya dipanggi Sartika atau Tio, dan karena asumsi-asumsi yang saya buat di artikel ini bisa jadi salah) adalah seorang introvert.
Meskipun begitu, informasi yang diberikan dalam tulisan di atas masih sangat terbatas. Kita tidak tahu bagaimana kebiasaan sehari-hari Sari, apa yang dia lakukan sehingga sakitnya kambuh, dan apa yang dia lakukan pada saat-saat terakhirnya. Maka, marilah kita sekali lagi mengasumsikan bahwa pada hari-hari terakhirnya, Sari sakit parah dan terbaring di tempat tidurnya, tidak bisa pergi kemana-mana. Kita jadikan asumsi-asumsi ini sebagai acuan kita.
Memang, bisa saja ada teman kos yang mengetuk pintu kamar Sari untuk berbagi makanan, meminjam barang, dsb. Namun, sekalipun ada teman kos yang seperti itu, kalau dia tidak mendengar suara apa-apa dari dalam kamar, mungkin dia akan berpikir kalau tidak ada orang di dalam.
Dan sebenarnya cukup wajar bagi mahasiswa Itebe untuk tidak berada di kamar kosnya. Mungkin dia sedang menginap di tempat temannya atau di tempat saudaranya. Atau mungkin dia sedang mengikuti kegiatan organisasi yang mengharuskannya menginap. Atau bisa juga dia sedang camping bersama teman-temannya (walaupun ini kemungkinannya kecil). Yang jelas, kalau tidak ada yang keluar-masuk atau tidak terdengar suara apapun dari kamar Sari, cukup masuk akal kalau temannya mengira kalau Sari memang sedang tidak di kamar.
Atau bisa juga semua teman kos Sari adalah orang yang apatis dan sama sekali tidak peduli jika temannya sedang sekarat. Tapi, saya kira tidak seperti itu.
Alasan orang-orang ini menjadi ninja bermacam-macam. Ada yang pindah ke universitas lain, bahkan ada yang sampai ke luar negeri. Ada yang kecanduan game sampai lupa waktu. Ada juga yang frustasi dengan perkuliahan, tidak mau kuliah lagi, kemudian pulang ke rumah orang tuanya. Dan masih banyak alasan lain.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk lebih mementingkan satu ninja dibanding ninja yang lain. Sesuai dengan definisi ninja, tidak ada yang tahu pasti tentang keberadaannya. Kalaupun ada yang tahu, butuh waktu yang cukup lama untuk mengungkapnya.
Dia mungkin akan mulai dengan berusaha menghubunginya lewat Laen, kemudian lewat telepon (di sini saya mulai berpikir kalau riwayat chat Sari bisa sangat berguna untuk mempelajari kasusnya). Kalau dia benar-benar khawatir, mungkin dia akan langsung menghampirinya ke kos. Sayangnya, niat baik temannya ini bisa terhalang kalau dia belum tahu alamat kos Sari.
Menurut saya, teman sekelas Sari justru bisa lebih merasakan ketidakhadirannya daripada teman sekos. Setiap mahasiswa wajib hadir di kelas, dan daftar mahasiswa yang tidak hadir dapat dengan mudah dilihat pada presensi/absensi.
Sayang sekali, pada tulisan di atas, Sari ditemukan pada pertengahan Juli. Masa perkuliahan Itebe sudah berakhir sejak akhir Mei, dan tidak dimulai lagi hingga bulan Agustus. Sehingga, pada bulan Juli dapat dipastikan tidak ada kelas (kecuali untuk Semester Pendek, tapi saya tidak tahu banyak mengenai hal tersebut).
Sekarang, mari kita kembali lagi ke awal. Sari sedang terbaring lemah di kasur, dan tidak bisa kemana-mana. Kalau dia berpikir bahwa sakitnya sangat parah, dia bisa memanggil ambulans atau meminta seseorang untuk mengantarnya ke rumah sakit. Tapi, kalau Sari mempunyai masalah keuangan, mungkin dia agak sungkan untuk pergi ke rumah sakit. Atau mungkin karena sudah terbiasa sakit perut, dia pikir penyakitnya kali ini tidak begitu serius, sehingga dia tidak melakukan tindakan khusus. Atau jangan-jangan Sari merasa sudah lelah, dan dia pikir dengan ini dia bisa mengakhiri hidupnya dengan damai (sekali lagi, saya pikir akan sangat membantu kalau kita bisa mengetahui riwayat chat Sari).
Namun, jika seandainya Sari masih berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya, dengan kondisinya yang sedang terbaring tak berdaya, adakah sesuatu yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan hidupnya?
***
Sebelum membahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita baca kembali tulisan yang telah disebar di berbagai media sosial secara berantai ini:
Copas dari wall nya: bu Lelitasari Danukusumo
-------------
MENINGGAL DI KAMAR KOS
Mahasiswi ITB Sartika Tio Silalahi (21 tahun) ditemukan meninggal di kamar kosnya, di Jl. Plesiran, Taman Sari, Bandung, Selasa (11/7/2017). Ia diperkirakan sudah meninggal tiga hari, karena mayatnya sudah berbau.
Sartika ini berasal dari Tarutung, Tapanuli Utara. Ia alumni berprestasi dari SMAN 1 Tarutung, angkatan 2013, sehingga bisa diterima di ITB. Ia mengambil program studi Perencanaan Wilayah dan Kota.
Awal ketahuan Sartika meninggal, orangtuanya menghubungi pengurus rumah kos, karena sudah tiga hari anaknya tidak ada kabar berita. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Pengurus kos pun meminta teman-teman kosnya, melalui chat grup, agar memerika kamar Sartika.
Sartika ditemukan sudah tak bernyawa. Kamar dalam keadaan rapi. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Berdasarkan informasi dari keluarga Sartika diketahui mengidap maag kronis.
Jenazah boru Sartika ini sudah dibawa pulang dan dimakamkan di Tarutung. Tapi ada hal yang perlu diketahui dan direnungkan secara serius dari peristiwa ini, terutama oleh orangtua atau keluarga yang anak-anaknya hidup kos di kota.
Suasana dan gaya hidup di tempat kos saat ini sudah sangat berbeda gaya hidup kos yang kita kenal ditahun 1980 atau 1990-an. Dulu, hidup satu kos itu seperti keluarga. Saling memperhatikan, saling berbagi makan, merasa senasib, dan saling tolong. Satu orang sakit, bisa-bisa yang antar berobat 5 atau 6 orang.
Sekarang ini, gaya hidup di tempat kos, terutama di tempat-tempat kos bagus di kota-kota besar, orang hidup sendiri-sendiri. Masing-masing hidup di kamar, berteman dengan gadget dan internetnya. Merasa tidak enak mencampuri urusan, atau mengganggu teman kos lain.
Lihatlah peristiwa yang menimpa Sartika ini. Kalau orangtuanya tidak menelepon pengurus kos dari Tarutung, sang pengurus kos tidak tahu apa yang terjadi. Itu pun, pengurus kos tidak langsung datang. Ia menghubungi penghuni kos lain lewat chat LINE, agar mencek kamar Sartika. Gemblung sekali rasanya, teman-teman kosnya itu sama sekali tidak memperhatikan Sartika sudah tidak kelihatan 3 hari.
Mahasiswa, anak-anak muda yang hidup kos di kota, sebenarnya kehilangan sesuatu. Kehilangan suasana dan perhatian keluarga. Ada rasa sepi, tidak bisa berbicara, atau curhat kepada keluarga.
Karena itu, ketika berada di rantau, sebenarnya justru sangat butuh teman, sahabat, dan lingkungan yang bisa mengisi kekosongan itu. Logisnya, teman-teman koslah yang mengisi kekosongan itu. Jangan lupa, di kampus sendiri si anak juga mungkin memiliki persoalan-persoalan yang menguras pikiran.
Seorang teman dari daerah cerita ke saya, ketika mengunjungi putrinya yang kuliah di UI, merasa heran setelah tinggal di Depok putrinya kelihatan cepat tua dan lelah. Putrinya itu sempat kuliah setahun di Bandung, dan katanya kelihatan happy-happy saja. Di Depok, putrinya tinggal di sebuah rumah kos besar, berlantai 3, mirip sebuah hotel.
Saya menduga, putrinya kehilangan suasana sosial karena kehidupan kos yang individual seperti cerita di atas. Belakangan juga ketahuan, si putri agak stress karena mengalami persoalan dengan kuliah. Beberapa dosen seperti memusuhinya karena beda agama. Tidak pernah dapat nilai bagus, meski sudah berusaha setengah mati. Nah, kan.
Satu hal, suasana individual ini juga yang kemudian sering melahirkan kondisi lain yang tak kalah buruk. Karena butuh teman, umumnya anak muda mencari pacar. Hubungan dengan pacar bisa jadi kelewat batas, karena tetangga kos tidak peduli apa yang dilakukan teman-teman kos di kamarnya. Pengurus kos juga tidak peduli, asalkan bayaran lancar.
Itu yang saya bilang, perlu mendapat perhatian dari para orangtua. Perlu juga ikut mencari tempat kos buat putra-putrinya. Suasana rumah kosnya seperti apa. Pemilik rumah kos seperti apa. Kira-kira temannya bisa bergaul dengan siapa. Apakah ada teman satu daerah, satu marga, anak kenalaan, kira-kira dia bisa bergereja dimana, dan sebagainya.
Maaf, orangtua juga sering sama egois. Dia merasa punya uang, mencari tempat kos yang mahal, yang fasilitasnya lengkap, agar orang melihat anaknya itu anak orang mampu, tidak butuh orang lain. Jangan macam-macam sama anakku. Kurang lebih, begitu. Tanpa sadar, itu sebenarnya menjerumuskan si anak ke kesepian yang dalam, meski hidupnya tampak enak.
Bayangkan, si anak sakit, tapi sampai nggak berani memberitahu atau minta tolong temannya ngantar ke dokter seperti boru Sartika di atas. Miris...ironis.
***
Kenapa saya menulis artikel ini?
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya saya mendengar kabar mengenai seorang mahasiswa Itebe yang meninggal karena sakit keras di kamar kosnya. Saya sudah mendengar kabar ini sejak masa-masa awal saya menjadi mahasiswa. Tapi, kenapa baru sekarang saya membuat artikel ini?Pertama, baru kali ini saya benar-benar merasakan tinggal di kos. Setelah satu tahun tinggal di asrama, akhirnya saya baru pindah ke kos, sekitar satu bulan yang lalu. Yang kedua, karena penyebaran berita ini begitu dahsyat, bahkan bisa sampai masuk ke grup chat keluarga saya.
Dan yang terakhir, karena saya sendiri juga merupakan seorang introvert. Saya merasa sedikit tersinggung dengan nada tulisan tersebut. Oleh karena itu, saya merasa perlu membuat artikel ini.
Dari sebagian besar tanggapan dari berita tersebut yang telah saya baca, nampaknya kebanyakan orang berpikir bahwa musibah ini bisa dicegah seandainya orang-orang yang tinggal di kos tidak terlalu individualis dan lebih peduli terhadap teman-temannya.
Sayangnya, tidak semudah itu mengajak orang agar peduli, apalagi mengubah sifat orang yang pada dasarnya memang introvert. Sebenarnya, saya sendiri pun belum bisa memberikan sebuah solusi yang ampuh untuk masalah ini. Namun, setidaknya saya dapat memberikan sebuah pembahasan (atau mungkin bisa juga disebut 'eksperimen pikiran') dari sudut pandang seorang introvert.
Sebelum kita melanjutkan, saya ingin memperingatkan terlebih dahulu bahwa saya hanya akan membahas kasus Sartika Tio Silalahi, untuk membatasi cakupan artikel ini. Saya juga akan membuat banyak asumsi di sini. Artikel ini saya buat dengan mengasumsikan bahwa semua informasi yang diberikan dalam tulisan tersebut benar, dan bahwa Sartika Tio Silalahi (selanjutnya dipanggil Sari, karena saya tidak tahu dia biasanya dipanggi Sartika atau Tio, dan karena asumsi-asumsi yang saya buat di artikel ini bisa jadi salah) adalah seorang introvert.
Meskipun begitu, informasi yang diberikan dalam tulisan di atas masih sangat terbatas. Kita tidak tahu bagaimana kebiasaan sehari-hari Sari, apa yang dia lakukan sehingga sakitnya kambuh, dan apa yang dia lakukan pada saat-saat terakhirnya. Maka, marilah kita sekali lagi mengasumsikan bahwa pada hari-hari terakhirnya, Sari sakit parah dan terbaring di tempat tidurnya, tidak bisa pergi kemana-mana. Kita jadikan asumsi-asumsi ini sebagai acuan kita.
Bagaimana teman kos Sari bisa tidak curiga padahal sudah berhari-hari Sari tidak terlihat?
Dari pengalaman saya sejauh ini, kalau seseorang sudah menutup pintu dan jendela kamar kosnya, orang lain tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Dan menurut saya memang seharusnya seperti itu. Bayangkan bagaimana kalau seseorang sedang tidak berpakaian dan tiba-tiba seorang temannya masuk tanpa permisi?Memang, bisa saja ada teman kos yang mengetuk pintu kamar Sari untuk berbagi makanan, meminjam barang, dsb. Namun, sekalipun ada teman kos yang seperti itu, kalau dia tidak mendengar suara apa-apa dari dalam kamar, mungkin dia akan berpikir kalau tidak ada orang di dalam.
Dan sebenarnya cukup wajar bagi mahasiswa Itebe untuk tidak berada di kamar kosnya. Mungkin dia sedang menginap di tempat temannya atau di tempat saudaranya. Atau mungkin dia sedang mengikuti kegiatan organisasi yang mengharuskannya menginap. Atau bisa juga dia sedang camping bersama teman-temannya (walaupun ini kemungkinannya kecil). Yang jelas, kalau tidak ada yang keluar-masuk atau tidak terdengar suara apapun dari kamar Sari, cukup masuk akal kalau temannya mengira kalau Sari memang sedang tidak di kamar.
Atau bisa juga semua teman kos Sari adalah orang yang apatis dan sama sekali tidak peduli jika temannya sedang sekarat. Tapi, saya kira tidak seperti itu.
Bagaimana dengan teman-temannya di kelas?
Mungkin orang-orang yang tidak berkuliah di Itebe belum tahu mengenai hal ini. Sebenarnya, di hampir setiap kelas pasti ada orang-orang yang 'menjadi ninja', menghilang tanpa jejak, dan susah dihubungi. Bahkan biasanya ada lebih dari satu ninja di setiap kelas.Alasan orang-orang ini menjadi ninja bermacam-macam. Ada yang pindah ke universitas lain, bahkan ada yang sampai ke luar negeri. Ada yang kecanduan game sampai lupa waktu. Ada juga yang frustasi dengan perkuliahan, tidak mau kuliah lagi, kemudian pulang ke rumah orang tuanya. Dan masih banyak alasan lain.
Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk lebih mementingkan satu ninja dibanding ninja yang lain. Sesuai dengan definisi ninja, tidak ada yang tahu pasti tentang keberadaannya. Kalaupun ada yang tahu, butuh waktu yang cukup lama untuk mengungkapnya.
Tapi, pasti setidaknya ada satu orang di kelasnya yang sangat akrab, kan?
Saya pikir begitu. Separah apapun seseorang, seharusnya ada minimal satu orang yang dekat dengan dia. Masalahnya, seberapa dekat dia dengan Sari? Seorang teman yang baik tentu akan khawatir kalau tiba-tiba temannya tidak muncul di kelas.Dia mungkin akan mulai dengan berusaha menghubunginya lewat Laen, kemudian lewat telepon (di sini saya mulai berpikir kalau riwayat chat Sari bisa sangat berguna untuk mempelajari kasusnya). Kalau dia benar-benar khawatir, mungkin dia akan langsung menghampirinya ke kos. Sayangnya, niat baik temannya ini bisa terhalang kalau dia belum tahu alamat kos Sari.
Menurut saya, teman sekelas Sari justru bisa lebih merasakan ketidakhadirannya daripada teman sekos. Setiap mahasiswa wajib hadir di kelas, dan daftar mahasiswa yang tidak hadir dapat dengan mudah dilihat pada presensi/absensi.
Sayang sekali, pada tulisan di atas, Sari ditemukan pada pertengahan Juli. Masa perkuliahan Itebe sudah berakhir sejak akhir Mei, dan tidak dimulai lagi hingga bulan Agustus. Sehingga, pada bulan Juli dapat dipastikan tidak ada kelas (kecuali untuk Semester Pendek, tapi saya tidak tahu banyak mengenai hal tersebut).
Bagaimana dengan temannya di luar kelas?
Seperti yang sudah saya singgung, di Itebe ada banyak sekali organisasi dan komunitas mahasiswa. Namun, sama seperti di kelas, ada banyak ninja-ninja di hampir semua komunitas tersebut (tidak hanya di komunitas Ninjutsu). Bahkan, jumlah ninja di berbagai komunitas ini jauh lebih banyak daripada di kelas. Jadi, kecil kemungkinan ada orang yang peduli.Lalu bagaimana sikap perguruan tinggi terhadap ninja-ninja tersebut?
Saya kurang tahu mengenai apa upaya yang dilakukan pihak perguruan tinggi terhadap masing-masing individu tersebut. Setahu saya, untuk masalah seperti ini biasanya diberikan pengumuman secara kolektif, karena jumlah ninja-ninja ini tidak sedikit. Dan menurut saya, tidak terlalu mengherankan kalau pihak perguruan tinggi tidak mengeluarkan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan para ninja, karena mereka kadang menjadi ninja dengan alasan yang membuat pihak perguruan tinggi naik pitam (misalnya mereka pindah ke Stunt).
***
Sekarang, mari kita kembali lagi ke awal. Sari sedang terbaring lemah di kasur, dan tidak bisa kemana-mana. Kalau dia berpikir bahwa sakitnya sangat parah, dia bisa memanggil ambulans atau meminta seseorang untuk mengantarnya ke rumah sakit. Tapi, kalau Sari mempunyai masalah keuangan, mungkin dia agak sungkan untuk pergi ke rumah sakit. Atau mungkin karena sudah terbiasa sakit perut, dia pikir penyakitnya kali ini tidak begitu serius, sehingga dia tidak melakukan tindakan khusus. Atau jangan-jangan Sari merasa sudah lelah, dan dia pikir dengan ini dia bisa mengakhiri hidupnya dengan damai (sekali lagi, saya pikir akan sangat membantu kalau kita bisa mengetahui riwayat chat Sari).
Namun, jika seandainya Sari masih berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya, dengan kondisinya yang sedang terbaring tak berdaya, adakah sesuatu yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan hidupnya?
Comments
Post a Comment
What do you think?